Pertemuan Ke – 1
Pengertian Hukum & Hukum Ekonomi
I.
Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum
pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat
menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
Sedangkan pengertian hukum menurut
beberapa ahli adalah sebagai berikut :
·
Plato
“ Hukum
adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat.”
·
Aristoteles
“Hukum
hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi
juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi
konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam
melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.”
·
Mr. E.M. Mayers
“Hukum
adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada
tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman
penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.”
·
Immanuel Kant
“Hukum
adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu
dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan
hukum tentang Kemerdekaan.”
·
Van Apeldoorn
“Hukum
adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum
itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan
kebiasaan.”
·
S.M. Amir, S.H
“Hukum adalah peraturan, kumpulan
peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.”
·
M.H.
Tirtaamidjata, S.H
“Hukum
adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian
jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta,
umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.”
·
J.T.C.
Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H
“Hukum
itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.”
·
Soerojo
Wignjodipoero, S.H
“Hukum
adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan
suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau
dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.”
II. Tujuan Hukum dan
Sumber-sumber Hukum
Tujuan Hukum
Tujuan hukum mempunyai sifat
universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan
dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya
hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan
dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum
bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi
hakim atas dirinya sendiri. Hukum juga bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakatdan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu
asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
Sumber-sumber Hukum
Sumber-sumber hukum adalah segala sesuatu
yang dapat menimbulkan terbentuknya peraturan-peraturan. Peraturan
tersebut biasanya bersifat memaksa. Sumber-sumber Hukum ada 2 jenis yaitu:
1.
Sumber-sumber hukum materiil
Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana
materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi
social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah
(kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.
Sumber-sumber hukum materiil juga merupakan sumber hukum yang ditinjau dari
berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil
Merupakan tempat atau sumber dari mana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara
yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai
sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan
kebiasaan. Sumber-sumber hukum formal yaitu :
·
Undang-undang
(Statute)
·
Kebiasaan
(Costum)
·
Keputusan-keputusan
Hakim
·
Traktat
(Treaty)
·
Pendapat
Sarjana Hukum (Doktrin)
III.
Kodifikasi Hukum
Kodifikasi hukum adalah pembukuan secara
lengkap dan sistematis tentang hukum tertentu. Yang menyebabkan timbulnya
kodifikasi hukum ialah tidak adanya kesatuan dan kepastian hukum (di Perancis).
Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas:
a.
Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum
yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan.
b.
Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law),
yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis
namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
1. Kepastian hukum
2. Penyederhanaan hukum
3. Kesatuan hukum
Contoh kodifikasi hukum:
·
Di
Eropa :
a. Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh
Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565.
b. Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar
Napoleon di Prancis dalam tahun 1604.
·
Di
Indonesia :
a. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei
1848)
b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei
1848)
c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan
1918)
d. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31
Des 1981)
IV.
Kaidah atau Norma
Kaidah atau norma hukum adalah aturan
sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga
dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai
dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini
berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat
dipandang sebagai kaidah. Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau
patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Pada
konteks ini masyarakat memandang bahwa hukum merupakan patokan-patokan atau
pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka lakukan. Pada
makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi
bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Kebiasaan
yang sudah lumrah dipatuhi dalam suatu masyarakat pun meskipun tidak secara
resmi dituliskan, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba
melanggarnya akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap
sebagai hukum.
Menurut sifatnya kaidah hukum terbagi 2,
yaitu :
1. Hukum yang imperatif, maksudnya
kaidah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat
dan memaksa.
2. Hukum yang fakultatif maksudnya
ialah hukum itu tidak secara apriori mengikat. Kaidah fakultatif
bersifat sebagai pelengkap.
Ada 4 macam norma yaitu :
1. Norma Agama adalah peraturan hidup
yang berisi pengertian-pengertian, perintah-perintah, larangan-larangan dan
anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan yang merupakan tuntunan hidup ke arah
atau jalan yang benar.
2. Norma Kesusilaan adalah peraturan
hidup yang dianggap sebagai suara hati. Peraturan ini berisi suara batin yang
diakui oleh sebagian orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
3. Norma Kesopanan adalah peraturan
hidup yang muncul dari hubungan sosial antar individu. Tiap golongan masyarakat
tertentu dapat menetapkan peraturan tertentu mengenai kesopanan.
4. Norma Hukum adalah
peraturan-peraturan hidup yang diakui oleh negara dan harus dilaksanakan di
tiap-tiap daerah dalam negara tersebut. Dapat diartikan bahwa norma hukum ini
mengikat tiap warganegara dalam wilayah negara tersebut
V. Pengertian Ekonomi dan
Hukum Ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari
perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi
adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas
dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu
kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan (Ingg: scarcity).
Hukum
ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi
yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi
sehari-hari dalam masyarakat.
Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh
peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan
kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal)
b. Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh
peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan
ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal, hukum
perburuhan dan hukum perumahan).
Sumber :
Pertemuan Ke – 2
Subyek dan Obyek Hukum
I.
Subyek Hukum
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban
menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam
sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem
hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi,
institusi). Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa
hak, yakni manusia dan badan hukum.
a. Manusia
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah
menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita
pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia
dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada
dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan
atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh
hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka
dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu
oleh orang lain. seperti:
·
Anak
yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah
·
Orang
yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk,
pemboros.
b. Badan Usaha
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari
kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga
mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.
Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa
hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi
hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
II.
Obyek Hukum
Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat
bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Misalkan
benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat diperoleh manusia
memerlukan “pengorbanan” dahulu sebelumnya. Hal pengorbanan dan prosedur
perolehan benda-benda tersebut inilah yang menjadi sasaran pengaturan hukum dan
merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban subjek hukum yang bersangkutan
sehingga benda-benda ekonomi tersebut menjadi objek hukum. Sebaliknya
benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum karena untuk memperoleh
benda-benda non ekonomi tidak diperlukan pengorbanan mengingat benda-benda
tersebut dapat diperoleh secara bebas.
Bagian-Bagian Objek hukum dapat dibedakan menjadi
:
1. Benda Bergerak
Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya
dapat berpindah sendiri ataupun dapat dipindahkan. Benda bergerak dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
-
Benda
bergerak karena sifatnya
-
Benda
bergerak karena ketentuan UU
2. Benda Tidak Bergerak
Benda tidak bergerak adalah Penyerahan benda
tetapi dahulu dilakukan dengan penyerahan secara yuridis. Dalam hal ini untuk
menyerahkan suatu benda tidak bergerak dibutuhkan suatu perbuatan hukum lain
dalam bentuk akta balik nama. dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
-
Benda
tidak bergerak karena sifatnya
-
Benda
tidak bergerak karena tujuannya
-
Benda
tidak bergerak karena ketentuan UU
Membedakan benda bergerak dan tidak bergerak
sangat penting karena berhubungan dengan 4 hak yaitu :
·
Pemilikan
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak
berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari
barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan
untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
·
Penyerahan
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda
bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari
tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
·
Daluwarsa
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda
bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan pemilikan
(eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak
bergerak mengenal adanya daluwarsa.
·
Pembebanan
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda
bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia) sedangkan untuk benda
tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta
benda-benda selain tanah digunakan fidusia.
Perbedaan Subjek Hukum dan Objek Hukum
Yaitu pendukung hak dan kewajiban yang terjadi
pada subjek hukum terjadi dari manusia (persoon) dan badan hukum
(Rechtspersoon). Sedangkan objek hukum, segala sesuatu yang berguna bagi subjek
hukum dan yang dapat menjadi objek hukum dari suatu hubungan hukum.
III.
Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak
Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan
utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan
kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda melakukan yang dijadikan jaminan,
jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat umum :
-
Benda
tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang)
-
Benda
tersebut bisa dipindahtangankan haknya pada pihak lain
2. Jamian yang bersifat khusus :
-
Gadai
-
Hipotik
-
Hak
Tanggungan
-
Fidusia
Sumber :
Pertemuan Ke – 3
Hukum Perdata
I.
Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan
kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam
tradisi hukum di daratanEropa (civil law) dikenal pembagian
hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau
hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law)
tidak dikenal pembagian semacam ini.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem
hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang
dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental,
khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan
wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama,
karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum
atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan
dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
II.
Sejarah Singkat Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata
Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang
pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang
berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata)
dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda
(1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih
dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis
(1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan
kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper.
Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum
menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua
Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada
tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan
pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia
yaitu :
-
BW
[atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
-
WvK
[atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan
terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke
dalam bahasa nasional Belanda.
III.
Pengertian dan Keadaan Hukum di Indonesia
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia
sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang
mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita
lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan,
yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa
Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India,
arab)
Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan
berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya
bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak
mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda
terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya
terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai
berikut :
-
Hukum
perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan
hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
-
Untuk
golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri
belanda (sesuai azas konkordasi).
-
Untuk
golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan
mereka menghendakinya.
-
Orang
Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu
peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
-
Sebelumnya
hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum
yang berlaku adalah hukum adat.
IV.
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia ada 2
pendapat yaitu :
1. Pendapat yang pertama yaitu, dari
pemberlaku Undang-Undang berisi:
Buku I : Berisi mengenai orang. Di dalamnya
diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II :
Berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum
waris.
Buku III
: Berisi tentang perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal
balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV :
Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat
pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu
2. Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum/
Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
·
Hukum
tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam
hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang
hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
·
Hukum
Kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam
lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua
dan anak, perwalian dan curatele.
·
Hukum
Kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
dapat dinilai dengan uang. Jika
kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah
dari segala hak dari kewajiabn orang itu dinilaikan dengan uang.
·
Hukum
Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang
jika ia meninggal. Disamping
itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang.
Sumber :
Pertemuan Ke – 4
Hukum Perikatan
I.
Pengertian
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi (pers onal law).
Definisi hukum perikat menurut beberapa ahli yaitu
:
·
Menurut Hofmann
“Suatu
hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan
itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu.”
·
Menurut Pitlo
“Perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak
yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu
prestasi.”
·
Menurut Subekti
“Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu.”
II.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi
lagi menjadi :
-
Perikatan
terjadi karena undang-undang semata
-
Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
III.
Azaz-azaz dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku
III KUH Perdata, yakni :
1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas konsensualisme Asas konsensualisme,
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara
para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP
Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah
a. Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
c. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
d. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang
halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
IV.
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti
yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
Bentuk-bentuk
dari wanprestasi yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak
memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
2.
Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya
Apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3.
Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang
memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
Sedangkan
menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukan
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi
tidak sebagaimana dijanjikannya
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wanprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni:
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh
Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure,
yakni :
·
Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh salah satu pihak
·
Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat
oleh kelalaian si debitor
·
Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan
Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah
diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau
pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
perdata.
V.
Hapusnya Perikatan
Berikut ini merupakan beberapa jenis hukum
perikatan :
1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang
pemenuhan prestasinya dikaitkan pada syarat tertentu.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu
perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan
peristiwa tertentu yang pasti terjadi.
3. Perikatan tanggung menanggung atau tanggung
renteng, yaitu para pihak dalam perjanjian terdiri dari satu orang pihak yang
satu dan satu orang pihak yang lain. Akan tetapi, sering terjadi salah satu
pihak atau kerdua belah pihak terdiri dari lebih dari satu orang.
Terdapat 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu
perikatan adalah sebagai berikut :
·
Karena
pembayaran
·
Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
·
Pembaharuan
utang (inovatie)
·
Perjumpaan
utang (kompensasi)
·
Pembebasan
utang
·
Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan
·
Kadaluwarsa
·
Pembatalan
perjanjian
·
Percampuran
utang
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar