Senin, 03 Juni 2013 - 0 komentar

Pertemuan ke 9-11


Pertemuan Ke 9
Perlindungan Konsumen
I.          Pengertian Konsumen
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

Sedangkan pengertian perlindungan konsumen yaitu :
Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 :
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a:
“ … pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”

Hukum perlindungan konsumen adalah  “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”. Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.

II.          Azas dan Tujuan
Azas-azas perlindungan konsumen
Pasal 2 UU PK :
a.       Azas manfaat
Azas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggidibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b.      Azas keadilan
Dapat dilihat di pasal 4-7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui azas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c.       Azas Keseimbangan
Diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang dilindungi.
d.      Azas keamanan dan keselamatan konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakain, dan pemanaatan barang atau jasayang dikonsumsi atau digunakan.
e.      Azas Kepastian Hukum
Baik konsumen dan pelaku usaha harus mentaati hokum dan memperoleh keadilan dalampenyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 3 UU PK :
1.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.       Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya aru akses negative  pemakain barang atau jasa.
3.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4.       Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.       Menumbuhkan kesadaran ppelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujuur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.       Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha prodiksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

III.          Hak dan Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
1.       Hak atas kenyaman, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
2.       Hak untuk mamilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.       Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa.
4.       Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
5.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.       Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.       Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.       Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban konsumen :
1.       Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2.       Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
3.       Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati.
4.       Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen.

IV.          Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6, tentang hak pelaku usaha, hak-hak pelaku usaha adalah :
1.       Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2.       Hak untuk mendapat perlindungan hokum dari tindakan yang beritikad tidak baik.
3.       Hak untuk melakukan pembelaan diri di dalam penyelesaian hokum sengketa.
4.       Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.

Kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7 yaitu :
1.       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2.       Memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4.       Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu baranga atau jasa yang berlaku.
5.       Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta member jaminan atau garansi atas barang yang dibuat atau yang diperdagangkan.
6.       Member kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
7.       Member kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
V.          Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
1.       Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang :
·         Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan     peraturan peruundang-undangan.
·          Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaiman yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
·         Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
·          Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan bbarang atau jasa tersebut.
·         Tidak sesuai dengan mutu, tingkaan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang atau jasa tersebut.
·         Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang atauu jasa tersebut
·         Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
·         Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana mestinya pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
·         Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih(netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
·         Tidak mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
·         Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa member informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
·         Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
·         Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

2.       Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan satu barang atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah olah :
·      Barang tersebuut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
·      Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru.
·      Barang atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
·      Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, afiliasi.
·      Barang atau jasa tersebut tersedia.
·      Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
·      Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
·      Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
·      Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
·      Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahayya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
·      Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
·      Barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
·      Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadapa ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang atau jasa tersebut.

3.       Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdaganngkan dilarang menawarkan, mempromoosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan menggenai :
·      Harga atau tarif barang atau jasa.
·       Penggunaan suatu barang atau jasa.
·      Kondisi, tanggunagn, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.
·      Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
·      Bahaya penggunaan barang atau jasa.

4.       Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan :
·         Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
·         Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
·          Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang yang lain.
·         Tidak menyediakan barang dengan juumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
·         Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjial jasa yang lain.
·         Menaikan harga atau tarif  barang atau jasa sebelum melakukan obral.

5.       Pelaku usaha dilarang menawarkan, empromosikan atau mengiklankan suatu barang atau jaa dengan harga atau tarif  khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannyasesuai dengan waktu dan jumlahh yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

6.       Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan sebagaimana yang dijanjikannya.

7.       Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain.

8.       Pelaku usah dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujuka untuk diperdagangkan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
·      Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan.
·      Mengumumkan khasilnya tidak melalui media massa.
·      Memberikan hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.
·      Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

9.       Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemakdaan cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

10.   Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
·      Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang diijanjikan
·       Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi.
11.   Pelaku periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
·      Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.
·      Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang atau jasa.
·      Memuat informasi yang keliru, salah., atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
·      Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang atau jasa.
·      Mengeksploitasu kejadian atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
·      Melanggar etika atau kettentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
·      Pelaku usaha periklanan dilarag melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggara ketentuan pada ayat (1).

VI.          Klausula Baku dalam Perjanjian
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang engikat dan wajib dipenuhi olehkonsumen. Lazimnnya klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur atau bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita harus selalu menegoisasikan syarat dan ketentuannya. Misalnya, jika membeli tiket meninton pertunjukan, apakah wajar untuk menegoisasikan akibat hukum jika pertunjuka itu dibatalkan ? namun demikian, untuk melindungi kepentingan konsumen beberapa jenis klausula baku secara tegas diilarang dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Klausula baku yang dilarang, ada klausula baku yang diilarang dalam UU PK artinya klausula baku selain itu sah dan mengikat secarra hukum.
Klausula baku dilarang mengandung unsure-unsur atau pertanyaan :
1.       Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsuumen.
2.       Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen.
3.       Hak pegusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen.
4.       Pemberian kuasa dari konsuumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli secara umum.
5.       Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen .
6.       Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
7.       Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
8.       Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk membebankan hak tanggungan, gadai, atau hak jaminan terhadapbarang yang dibeli oleh kosumensecara angsuran pasal 56 UU 8/99.
Selain itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihatatau tidak dapat jelas dibaca, aytau yang maksuudnya sulit dimengerti.
Jika pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang dilarang tersebut, maka klausula itu batal demi hukum. Artinya klausula itu dianggap tidak pernah ada.
VII.          Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19, yaitu :
1.         Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian konsumen akibat mengkonsuumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.         Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang atau jasa sejenis setara ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau jasa yang sejenis atau setara ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3.         Pergantian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
4.         Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan kesalahan.
5.         Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

VIII.          Sanksi
Sanksi bagi pelaku usaha menurt UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sanksi perdata ganti rugi dalam bentuk :
1.       Pengembalian uang
2.       Penggantian uang
3.       Perawatan kesehatan
4.       Pemberian santunan ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi

·          Sanksi administrasi ganti rugi dalam bentuk :
Maksimal Rp. 200.000.000, melalui BPSK jika melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), 20,25 sanksi pidana, kurungan :
a.       Penjara 5 tahun denda Rp. 2.000.000.000, pasal 8,9,10,13 ayat (2),15,17 ayat (1) huruf a, b, c, dan edan pasal 182.
b.      Penjara 2 tahun denda Rp. 5.000.000.000, pasal 11,12,13,ayat (1),14,16,17 ayat (1) huruf d dan f ketentuan piidana lain (diluar UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen)

·          Jika konsumen luka berat, cacat berat, sakit berat, atau kematian dikenakan 11 hukuman tambahan antara lain :
a.       Pengumuman keputusan hakim
b.      Pencabutan izin usaha
c.       Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
d.      Wajib menarik dari peredaran barang atau jasa.
e.      Hasil pengawasan diisebarluaskan kepada masyarakat.

Sumber :


Pertemuan Ke 10

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

       I.            Pengertian
Monopoli murni adalah bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki kemiringan negatif untuk komoditi itu.

“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.

UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji. 

     II.            Azas dan Tujuan
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut
1.    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
2.    Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3.    Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.    Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

  III.            Kegiatan yang dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.

Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1.       Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2.       Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3.       Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a.       menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b.      menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c.       membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d.      melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4.       Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5.       Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6.       Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7.       Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8.       Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.

  IV.            Perjanjian yang dilarang
1.       Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.       Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a.       Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b.      Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c.        Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d.      Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
3.       Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4.       Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5.       Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6.       Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7.       Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8.       Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9.       Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10.   Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

    V.            Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
Pasal 50
1.         perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.         perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3.         perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4.         perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5.         perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6.         perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7.         perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8.         pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
9.         kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

  VI.            Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut
·           Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
·           Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
·           Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
·           Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
·           Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
·           Efisiensi alokasi sumber daya alam
·           Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
·           Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
·           Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
·           Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
·           Menciptakan inovasi dalam perusahaan

VII.            Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli.

Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif,
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48
1.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
1.       pencabutan izin usaha; atau
2.       larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3.       penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

Sumber :



Pertemuan Ke 11

Penyelesaian Sengketa Ekonomi

       I.            Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan : Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1.    Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2.    Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1.    untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2.    dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)

     II.            Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara.
1.       Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB
·      Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
·      Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
·      Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
2.       Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan
·      Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
·      Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
3.       Cara Lain
Selain kedua cara diatas, ada cara lain dalam menyelesaiakan sengketa ekonomi.
·         NEGOSIASI dan ADR: Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak.
·         ARBITRASE: Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.
·         PENGADILAN: Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.
·         MEDIASI: Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
·         LIGITASI : Proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.

  III.            Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.

Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu

Pola Perilaku dalam Negosiasi
1.    Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
2.    Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
3.    Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
4.    Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

Ketrampilan Negosiasi
1.     Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
2.     Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
3.     Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
4.     Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
5.     Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

Fungsi Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
1.    Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
2.    Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan lebih dulu.
3.    Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/ kedua pihak, maka lobyingdapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.

  IV.            Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Prosedur Untuk Mediasi
1.    Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2.    Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3.    Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
4.    Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.

Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
1.    Netral
2.    Membantu para pihak tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Tugas Mediator :
1.    Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
2.    Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3.    Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
4.    Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

    V.            Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.

Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.

Azas- Azas Arbitrase :
1.         Azas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2.         Azas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3.         Azas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4.         Azas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

Tujuan Arbitrase
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.

  VI.            Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi

Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

Ligitasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
·         Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
·         Biaya yang relatif lebih murah 
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
·         Kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”

Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.

Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1.       Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa
2.       Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
3.       Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.

Sedangkan kelemahannya antara lain:
1.       Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
2.       Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3.       Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)

Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar