Kebijaksanaan
Pemerintah
1.
Kebijaksanaan Selama
- Periode 1966
– 1969
Kebijakan
pemerintah pada periode ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan
pembersihan pada semua sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde
Lama, terutama dari paham komunis. Pada masa ini juga diisi dengan
kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan penurunan tingkat inflasi dari +/-
650% menjadi +/- 10%.
- Periode
Pelita I
Kebijaksanaan pada periode ini dimulai dengan:
1.
Peraturan Pemerintah No.16 Tahun1970, mengenai penyempurnaan
tata niaga bidang eksport dan import.
2.
Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang
rupiah terhadap dolar, dengan sasaran pokoknya yaitu
·
Kestabilan
harga bahan pokok
·
Peningkatan
nilai ekspor
·
Kelancaran
impor
·
Penyebaran
barang di dalam negeri
- Periode
Pelita II
Pada periode
ini diisi denga kebijaksanaan mengenai perkreditan untuk mendorong para
eksportir kecil dan menengah disamping untuk mendorong kemajuan pengusaha
kecil/ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK).
- Periode Pelita III
Periode ini
diwarnai dengan devisitnya neraca perdagangan Indonesia , yang disebabkan karena
diterapkannya tindakan proteksi dua kuota oleh negara-negara pasaran komoditi
ekspor Indonesia.adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang sempat
dikeluarkan dalam periode ini adalah:
·
Paket
Januari 1982
Tatacara
pelaksanaan Ekspor-Impor dan Lalu lintas devisa. Diterapkan kemudahan dalam hal
pajak yang dikenakan terhadap komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit
untuk komoditi ekspor.
·
Paket
kebijaksanaan imbal beli
Keharusan eksportir maupun importer uar
negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama.
·
Kebijaksanaan Devaluasi 1983
yakni Dengan menurunkan nilai tukar Rupiah
terhadap mata uang dolar dari Rp 625/$ menjadi Rp 970/$ dengan harapan gairah
ekspor dapat meningkat sehingga permintaan Negara menjadi lebih banyak dan
komoditi impor menjadi lebih mahal karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk
mendapatkannya.
- Periode
Pelita IV
Beberapa
kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
1. Kebijaksanaan INPRES No.4 Tahun 1985,
kebijaksanaan ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor
non-migas.
2. Paket kebijaksanaan 6 Mei 1968 (PAKEM),
bertujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang ekspor maupun di bidang
penanaman modal.
3. Paket devaluasi 1986, tindakan ini
ditempuh karna jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang mengakibatkan
penerimaan pemerintah turun.
4. Paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986,
merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter, dan penanaman modal.
5. Paket kebijaksanaan 15 Januari 1987,
dengan melakukan peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa
sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka meningkatkan ekspor migas.
6. Paket kebijaksanaan 24 Desember 1987
(PAKDES), dengan melakukan restrukturisasi bidng ekonomi , terutama dalam
usaha memperancar perijinan (deregulasi).
7. Paket 27 Oktober 1988, kebijaksanaan
deregulasi untuk menggairahkan pasar odal dan untuk menghimpun dana masyarakat
guna biaya pembangunan.
8. Paket kebijaksanaan 21 November 1988
(PAKNOV), dengan melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan
dan hubungan laut.
9. Paket kebijaksanaan 20 Desember 1988
(PAKDES) kebijaksanaan di bidang keuangan dengan memberikan keluasan bagi pasar
modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif.
- Periode
Pelita V
Sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil
komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri
yang banyakk menyerap tenaga kerja.
PELITA V meletakkan
landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994). Periode
Pelita V Lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian dan upaya kondusif
guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Kedua.
2.
Kebijaksanaan Moneter
Kebijakan moneter adalah proses
mengatur persediaan uang sebuah negara untuk
mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi,
mencapai pekerja penuh
atau lebih
sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau
bahkan bertindak sebagai peminjam
usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi
dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif (Monetary Expansive Policy)
adalah suatu kebijakan dalam
rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary Contractive Policy)
adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi
jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Ada beberapa cara untuk
melakukan kebijakan moneter diantaranya :
1. Operasi Pasar
Terbuka
Operasi pasar terbuka
adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat
berharga pemerintah.
2. Diskonto
Diskonto adalah
pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral
pada bank umum.
3. Rasio Cadangan
Wajib
Rasio cadangan wajib
adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan
perbankan yang harus disimpan pada pemerintah.
4. Himbauan Moral
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk
mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku
ekonomi.
3.
Kebijaksanaan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat
pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan
pendapatan pemerintah. kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan
pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah
pengeluaran dan pajak.
Ada 2 macam kebijakan
fiskal yaitu :
1.
Kebijakan Fiskal Ekspansif
Kebijakan pemerintah
untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi
stimulus pada perekonomian.
2.
Kebijakan Fiskal Kontraktif
Kebijakan pemerintah
untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya.
Tujuan dari kebijakan
fiskal yaitu:
1.
Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan
pertumbuhan ekonomi.
2.
Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi
pengangguran.
3.
Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya
mengatasi inflasi.
4.
Kebijaksanaan Fiskal dan
Moneter di Sektor Luar Negeri
Kebijakan fiskal akan
mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara.
Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau
surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan
bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.
Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit
dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit
APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan
tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli
barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI
selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk
membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai
pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak,
pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah
uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan
defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh
pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin
besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal
Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari
besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif
menunjukkan adanya cash inflow.
Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap
perekonomian
Pada dasarnya,
kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam
jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa
menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas
dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen
, khususnya open market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam kasus Indonesia,
sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai
untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang
dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi
pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi
jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia
masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs.
Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga
SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu)
bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam
OMOs.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar