BAHASA INDONESIA 2
PROPOSAL
KEBUDAYAAN PERNIKAHAN ADAT YOGYAKARTA
oleh :
Ines Nabila
23211630
3EB02
UNIVERSITAS GUNADARMA
PTA
2013 / 2014
DAFTAR ISI
Daftar Isi
………………………………………………………………………………………………………………………. 2
Bab I –
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Masalah……………………………………………………………………………………… 3
I.2 Fokus Penelitian
……….……………………………………………………………………………………….. 4
I.3 Rumusan Masalah
…………………………………………………………………………………………….. 4
I.4 Tujuan Penulisan
………………………………………………………………………………………………. 4
I.5 Manfaat Penelitian
……………………………………………………………………………………………. 5
Bab II – Kajian Teori
II.1 Makna
Simbolik…………………………………………………………………………………………………. 6
II.2 Busana Pengantin Adat
Yogyakarta……………………………………………………………………. 7
Bab III – Metode Penelitian
III.1 Jenis Penelitian ……………………………………………………………………………………………………12
III.2 Subjek dan Objek Penelitian
………………………………………………………………………………. 12
III.3 Setting Penelitian ………………………………………………………………………………………………. 12
III.4 Data Penelitian ………………………………………………………………………………………………….. 12
III.5 Sumber Data
……………………………………………………………………………………………………… 13
III.6 Instrument Penelitian
………………………………………………………………………………………… 13
III.7 Teknik Pengumpulan Data
…………………………………………………………………………………. 13
III.8 Teknik Analisis
Data……………………………………………………………………………………………. 14
III.9 Triangulasi………………………………………………………………………………………………………….. 15
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………………………………… 16
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I. 1 Latar
Belakang Masalah
Indonesia adalah
negara yang memiliki kekayaan yang beraneka ragam yang tersebar mulai dari sabang
sampai merauke. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tersebut bukan
hanya berupa kekayaan sumber alam saja, tetapi masyarakat Indonesia juga
memiliki kekayaan lain seperti kekayaan akan kebudayaan suku bangsa Indonesia
yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.
Salah satu
kekayaan kebudayaan orang-orang Jawa adalah upacara pernikahan adat Jawa. Adat
istiadat pernikahan Jawa ini merupakan salah satu tradisi yang bersumber dari
Keraton. Adat istiadat ini mengandung nilai-nilai luhur yang mencerminkan
luhurnya budaya orang Jawa. Luhurnya budaya tersebut tercermin dari busana
pengantin yang dikenakan pada saat upacara pernikahan serta tata riasnya yang
mengandung makna simbolik.
Pernikahan
merupakan salah satu peristiwa besar yang sangat penting dan sakral di dalam
sejarah kehidupan manusia. Oleh karena itu, peristiwa sakral tersebut tidak
akan dilewatkan begitu saja seperti mereka melewati kehidupan sehari-hari.
Peristiwa pernikahan dilaksanakan dengan berbagai serangkaian upacara yang di dalamnya
mengandung nilai budaya yang luhur dan suci. Setiap orang yang menyelenggarakan
upacara pernikahan tidak akan merasa ragu-ragu untuk mengorbankan tenaga,
pikiran, waktu, serta biaya yang besar untuk kelancaran terselenggaranya
upacara pernikahan tersebut.
Di Indonesia
terdapat bermacam-macam upacara pernikahan adat yang diwariskan nenek moyang
secara turun temurun, dari generasi yang satu ke generasi yang berikutnya.
Setiap suku daerah yang ada di Indonesia masing-masing mempunyai upacara adat
pernikahan yang berbeda-beda. Masing-masing adat pernikahan tersebut memiliki
keagungan, keindahan, dan keunikan tersendiri. Di daerah Jawa, memiliki dua
macam gaya upacara pernikahan, yaitu upacara pernikahan gaya Yogyakarta dan
upacara pernikahan gaya Surakarta atau Solo. Kedua gaya tersebut terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan dalam busana dan tata riasnya.
Busana atau pakaian adalah salah satu kebutuhan manusia yang utama, yang berfungsi sebagai penutup tubuh. Busana dapat mencerminkan suatu norma atau nilai-nilai budaya suatu suku bangsa yang memilikinya. Dalam kebudayaan Jawa, busana merupakan unsur kebudayaan yang sangat penting. Busana Jawa adalah salah satu warisan budaya leluhur kita yang sangat adiluhung dan tinggi nilainya. Warisan budaya Jawa tersebut harus tetap dipertahankan dan dilestarikan agar tetap terjaga dan lestari hingga masa yang akan datang. Setiap busana pastilah mempunyai simbol dan fungsi tersendiri. Seperti sama halnya dengan busana pengantin yang dikenakan pada upacara pengantin adat Yogyakarta.
Busana atau pakaian adalah salah satu kebutuhan manusia yang utama, yang berfungsi sebagai penutup tubuh. Busana dapat mencerminkan suatu norma atau nilai-nilai budaya suatu suku bangsa yang memilikinya. Dalam kebudayaan Jawa, busana merupakan unsur kebudayaan yang sangat penting. Busana Jawa adalah salah satu warisan budaya leluhur kita yang sangat adiluhung dan tinggi nilainya. Warisan budaya Jawa tersebut harus tetap dipertahankan dan dilestarikan agar tetap terjaga dan lestari hingga masa yang akan datang. Setiap busana pastilah mempunyai simbol dan fungsi tersendiri. Seperti sama halnya dengan busana pengantin yang dikenakan pada upacara pengantin adat Yogyakarta.
Hal yang cukup
penting hubungannya dengan upacara pernikahan adalah busana pengantin. Busana
pengantin merupakan bagian dari aspek kebudayaan manusia yang disebut dengan
kesenian, di mana di dalam busana pengantin tersebut memiliki arti simbolis
yang bermakna. Perwujudan busana pengantin tidak lepas dari serangkaian pesan
yang hendak disampaikan kepada masyarakat umum melalui simbol-simbol yang
dikenal dan tradisi budaya masyarakat tersebut. Simbol-simbol yang diungkapkan
dalam busana pengantin dapat dilihat sebagai pencerminan dari corak kebudayaan
masyarakat Yogyakarta yang mengandung nilai-nilai dan ajaran bagaimana
seharusnya masyarakat Yogyakarta bertingkah laku di dalam kehidupan sehari-hari
di dunia ini.
Berdasarkan
hal-hal tersebut maka dalam penelitian ini akan mengkaji tentang makna simbolik
yang terkandung dalam peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta.
I.2 Fokus
Penelitian
Fokus masalah
dalam penelitian ini yang pertama adalah makna simbolik yang terkandung dalam
peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta. Kedua, fungsi busana pengantin
adat Yogyakarta.
I.3 Rumusan
Masalah
Dari pembatasan
makna yang sudah ada maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
makna simbolik busana pengantin adat Yogyakarta?
2. Bagaimanakan
fungsi busana pengantin adat Yogyakarta?
I.4 Tujuan
Penelitian
Tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1.
untuk memahami dan mendeskripsikan makna
simbolik peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta.
2. untuk mengetahui
dan mendeskripsikan fungsi busana pengantin adat Yogyakarta.
I.5 Manfaat
Penelitian
Manfaat dari
penelitian ini adalah untuk menggali nilai-nilai tradisional yang terdapat pada
busana tradisional busana pengantin adat Yogyakarta. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.
peneliti sendiri sebagai sarana untuk
meningkatkan apresiasi terhadap peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta
mengenai makna simbolik yang terkandung di dalamnya dan meningkaykan
pengetahuan tentang fungsi busana pengantin adat Yogyakarta tersebut.
2. mahasiswa Program
Studi Bahasa Jawa sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang
busana pengantin adat Yogyakarta.
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
II.1 Makna
Simbolik
Istilah makna
simbolik dalam penelitian ini ditinjau dari struktur kata, terbentuk dari dua
kata yaitu makna dan simbolik.
1.
Makna
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 703) makna adalah arti, maksud pembicaraan atau penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Lebih lanjut, penggunaan istilah makna dalam penelitian ini berfungsi sebagai makna khusus. Makna khusus yaitu makna kata atau istilah yang pemakaiannya terbatas pada bidang tertentu (KBBI, 2002: 703).
Dari pengertian tentang makna tersebut, dapat diketahui bahwa istilah makna dapat dipakai dalam berbagai keperluan tetapi sesuai dengan konteks kalimatnya. Di samping itu, pemakaiannya juga disesuaikan pula dengan bidang-bidang yang berkaitan dengan pemakaian istilah makna. Berkaitan dengan penelitian ini, makna yang dipakai adalah makna khusus yaitu istilah yang pemakaian dan maknanya terbatas pada bidang tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 703) makna adalah arti, maksud pembicaraan atau penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Lebih lanjut, penggunaan istilah makna dalam penelitian ini berfungsi sebagai makna khusus. Makna khusus yaitu makna kata atau istilah yang pemakaiannya terbatas pada bidang tertentu (KBBI, 2002: 703).
Dari pengertian tentang makna tersebut, dapat diketahui bahwa istilah makna dapat dipakai dalam berbagai keperluan tetapi sesuai dengan konteks kalimatnya. Di samping itu, pemakaiannya juga disesuaikan pula dengan bidang-bidang yang berkaitan dengan pemakaian istilah makna. Berkaitan dengan penelitian ini, makna yang dipakai adalah makna khusus yaitu istilah yang pemakaian dan maknanya terbatas pada bidang tertentu.
2.
Simbolik
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol ialah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek (Budiono, 1983: 10). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan simbol adalah sebagai lambang, menjadi lambang, dan mengenai lambang. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan simbol adalah suatu hal atau keadaan mengenai lambang atau ciri yang merupakan media pemahaman terhadap suatu objek yang hendak disampaikan kepada seseorang.
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol ialah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek (Budiono, 1983: 10). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan simbol adalah sebagai lambang, menjadi lambang, dan mengenai lambang. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan simbol adalah suatu hal atau keadaan mengenai lambang atau ciri yang merupakan media pemahaman terhadap suatu objek yang hendak disampaikan kepada seseorang.
Manusia adalah
makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu sendiri menurut Koentjaraningrat yaitu
menyebutkan bahwa kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya, dan
hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu
hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.
Budaya manusia
tersebut penuh dengan simbol-simbol. Sebagai mahkluk yang berbudaya, segala
tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan maupun
religinya selalu diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau
paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada
simbol-simbol. Simbolisme selain menonjol perananya dalam hal religi juga
menonjol peranannya dalam hal tradisi atau adat istiadat. Dalam hal ini
simbolisme dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat
yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi
berikutnya yang lebih muda (Budiono, 1983: 29-30).
Dalam Kamus
Populer Filsafat (1986: 106-107) menyatakan bahwa simbol menurut arti yang
paling dalam adalah setiap tanda atau bukti yang wujudnya dapat diserap secara
inderawi dan yang ada kaitannya dengan pengalaman serta penafsiran pribadi
mengenai hakikat dasar alam raya serta manusia dan sejarahnya. Karena manusia
terbatas dalam daya tangkapnya maka manusia memerlukan gambar-gambar untuk
merangkum dan menyimpan pengalaman tersebut. Simbol merupakan jembatan antara
dasar hakikat kenyataan yang tidak terbatas serta pengalaman dan penghayatan
manusia yang terbatas. Simbol dapat dimengerti, tetapi tidak dimengerti dengan
akal budi, melainkan dengan seluruh pribadi yang terbuka untuk semesta
kenyataan yang hadir di dalam manusia. Setiap benda dapat dijadikan simbol
sejauh kenyataan di dunia hadir di dalam benda tersebut, lalu berdasarkan suatu
pengalaman pribadi ditangkap, dilihat hubungannya dengan alam semesta serta
maknanya.
II.2 Busana
Pengantin Adat Yogyakarta
Busana atau
pakaian adat merupakan salah satu keanekaragaman budaya Indonesia. Busana
merupakan ekspresi, citra, dan kepribadian bangsa, karena dari busana dapat
tercermin norma dan nilai-nilai budaya suatu suku bangsa. Busana mempunyai
bermacam-macam fungsi, antara lain busana berfungsi sebagai pelindung tubuh
atau penutup tubuh, baik dari kotoran, sengatan dari hewan-hewan yang
berbahaya, pelindung dari sengatan sinar matahari, serta pelindung dari suhu
dingin. Fungsi lain dari busana adalah berfungsi sosial. Seiring berjalannya
waktu serta dengan adanya kemajuan zaman yang lebih modern melahirkan
masyarakat yang sangat bervariasi dan busana yang dikenakannya juga menjadi
semakin lebih bervariasi. Variasi busana tersebut disesuaikan dengan beraneka
ragam peranan manusia di dalam suatu kehidupan. Jadi, keanekaragaman tersebut
berhubungan dengan macam status sosial tertentu.
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap pasangan hidup. Oleh karena itu, pengantin bukan hanya mengikuti agama dan meneruskan naluri pada leluhur untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan hubungan yang sah antara pria dan wanita, tetapi juga memiliki arti atau makna yang sangat mendalam dan luas bagi kehidupan manusia di dalam kehidupan ( Artati Agoes, 2001: 10).
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap pasangan hidup. Oleh karena itu, pengantin bukan hanya mengikuti agama dan meneruskan naluri pada leluhur untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan hubungan yang sah antara pria dan wanita, tetapi juga memiliki arti atau makna yang sangat mendalam dan luas bagi kehidupan manusia di dalam kehidupan ( Artati Agoes, 2001: 10).
Di dalam
kehidupan manusia, pernikahan merupakan tahapan yang sangat penting. Orang yang
telah menikah secara otomatis akan mengalami perubahan status berkeluarga yang
selanjutnya akan mendapat pengakuan sebagai keluarga baru dengan segala
konsekuensi dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Agar keluarga baru yang
dibentuk dalam pengantin mencapai kebahagiaan lahir dan batin dalam kehidupan
berumah tangga dilakukanlah berbagai macam upacara-upacara ritual di dalam
sebuah acara pengantin. Upacara tersebut dalam budaya Jawa dilambangkan atau
disimbolkan dalam busana pengantin yang dikenakan, tata riasnya, serta
perhiasan yang dipakai pengantin lengkap dengan sarana dan prasarananya dalam
bentuk sesaji maupun hiasan-hiasan ruangan tempat acara pengantin tersebut
diselenggarakan (Kuswa Endah, 2006: 31).
Menurut sejarah,
adat istiadat tata cara pengantin Jawa tersebut dahulunya berasal dari keraton.
Tata cara adat kebesaran pengantin Jawa tersebut hanya dapat atau boleh
dilakukan di dalam tembok-tembok keraton atau orang-orang yang masih keturunan
atau abdi dalem keraton. Sampai kemudian Agama Islam masuk ke keraton-keraton
di Jawa, khususnya keraton Yogyakarta dan Solo (Surakarta), dan sejak itulah
tata cara adat pernikahan Jawa berbaur antara budaya Hindu dan Islam. Paduan
itulah yang akhirnya turun-temurun sampai saat sekarang (Artati Agoes, 2001:
1-2).
Upacara
pernikahan adat di Jawa dibedakan antara upacara pernikahan adat Yogyakarta dan
perknikahan adat Surakarta atau Solo. Selain digunakan oleh masyarakat
Yogyakarta dan Surakarta (Solo), dapat juga digunakan oleh masyarakat di luar
kedua wilayah tersebut seperti di daerah Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan sebagainya. Dari kedua upacara pernikahan tersebut terdapat perbedaan yang
jelas pada tata cara upacara pernikahan adat Yogyakarta dan Surakarta atau Solo
tersebut. Selain itu juga masih terdapat perbedaan yang lain, seperti busana
pengantin, bahasa yang dipakai dalam upacara pengantin, dan sebagainya.
Busana pengantin
adat Yogyakarta mempunyai beberapa jenis, masing-masing busana pengantin
tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda dan digunakan untuk kepentingan
yang berbeda-beda pula. Macam-macam busana pengantin adat Yogyakarta tersebut
ada lima macam, antara lain: 1) Busana Pengantin Paes Ageng, 2) Busana
Pengantin Paes Ageng Jangan Menir, 3) Busana Pengantin Yogya Putri, 4) Busana
Pengantin kesatrian Ageng, 5) Busana Pengantin Kesatrian (Yosodipuro dalam
Suwarna, 2001: 1).
1.
Busana Pengantin Paes Ageng
Busana Paes Ageng disebut juga dengan busana
Basahan. Busana pengantin Paes Ageng dipakai oleh putra-putri Sri Sultan
Hamengku Buwana pada perkawinan agung di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
(Yosodipuro dalam Suwarna, 2001: 1). Disebut Paes Ageng karena busana tersebut
dipakai pada saat perkawinan agung. Busana paes Ageng digunakan untuk perjamuan
pada saat upacara Panggih, yaitu upacara bertemunya kedua mempelai. Namun pada
masa sekarang busana tersebut biasa dipakai pada saat upacara Panggih sampai
upacara Pahargyan (resepsi pengantin), yang bertujuan untuk kepraktisan,
pengantin tidak perlu berkali-kali berganti pakaian.
Pada busana pengantin Paes Ageng pengantin
pria mengenakan kuluk atau tutup kepala atau mahkota warna biru, tanpa baju,
bercelana cinde, dan sandal selop, kain dodot dua lapis. Pada pending atau ikat
pinggang diselipkan keris, hiasan dada berbentuk bulan sabit bertingkat, kalung
rantai panjang dan kelat bahu. Sedangkan busana pengantin wanita tatarias
rambut sangat khas yaitu rambut sanggul bokor mengkureb dengan gajah ngolig,
berhias lima buah cunduk mentul, rajut melati, gelang tangan, danmemakai kelat
bahu. Pengantin wanita tidak mengenakan baju tetapi langsung memakai semekan
atau penutup dada, hiasan dada berbentuk bulan sabit bertingkat. Busana bawah
sama seperti pengantin pria hanya berbeda teknis pengaturannya dan terdapat
selendang cinde menjurai ke bawah dari pending atau ikat pinggang (Hamzuri,
1998/1999: 89).
2.
Busana Pengantin Paes Ageng Jangan Menir
Busana pengantin Busana Paes Ageng Jangan
Menir juga dipakai oleh putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwana pada saat
perkawinan agung di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yosodipuro dalam
Suwarna, 2000: 1). Busana Paes Ageng Jangan Menir digunakan untuk upacara
boyongan pengantin wanita ke kediaman pengantin pria, yaitu semalam sesudah
peresmian (Tedjowarsito & Gresah, 1982: 36).
Pada masa sekarang ini, busana pengantin Paes
Ageng Jangan Menir juga dapat digunakan oleh para pengantin pada umumnya, bukan
hanya di kalangan Keraton saja yang mengenakannya. Jadi, pengantin dari
kalangan manapun boleh mengenakan busana pengantin Paes Ageng Jangan Menir ini
dan dari pihak Keratonpun tidak melarangnya.
Busana pengantin Paes Ageng Jangan Menir
menggunakan mahkota berwarna hitam kotak-kotak, memakai jas tutup dan hiasan
dada berbentuk bulan sabit bertingkat. Busana bawahnya yaitu bebed dan tidak
memakai dodot, tetapi menggunakan kain wiron. Busana wanita, tata rias rambut
dan hiasannya yaitu cunduk mentul, memakai baju panjang, hiasan dada berbentuk
bulan sabit dan bros. busana bawahnya yaitu kain nyamping wiron dan cinde
menjurai ke bawah yang dimulai dari pending (Hamzuri, 1998/1999: 90).
3.
Busana Pengantin Yogya Putri
Busana pengantin Yogya Putri biasanya
dikenakan pada saat upacara sepasaran atau sepekanan sehingga busana ini dapat
disebut juga sebagai busana corak sepasaran. Sepasaran adalah hari ke lima
setelah upacara panggih. Pada zaman dahulu busana pengantin Yogya Putri ini
dipakai oleh pengantin putra dan putri Dalem pada waktu berkunjung ke Gubernur
Belanda. Waktunya antara hari ke-5 dan ke-35. Hari ke-35 setelah upacara
panggih disebut dengan selapanan (Suwarna, 2001: 10).
4.
Busana Pengantin Kesatrian Ageng
Busana pengantin Kesatrian Ageng biasa
dikenakan pada saat upacara pahargyan atau resepsi pernikahan. Busana pengentin
Kesatrian ageng bersifat semi-formal. Oleh karena itu, busana ini jarang
dikenakan pada saat upacara panggih atau upacara bertemunya kedua mempelai
pengantin pria dan wanita. Busana pengantin Kesatrian Ageng juga dikenakan oleh
Ngarsadalem dan putra-putri pangeran pada tanggal 20 malam bulan maulud. Karena
busana ini selalu dikenakan pada tanggal 20 malam, busana ini juga disebut
busana malem selikuran (Suwarna, 2001: 12-13).
5.
Busana Pengantin Kesatrian
Busana pengantin Kesatrian dikenakan pada saat
upacara pahargyani atau resepsi pernikahan. Busana pengantin Kesatrian
merupakan busana pengantin yang paling sederhana. Meskipun sederhana, namun
busana pengantin ini tampak anggun dan berwibawa. Busana pengantin ini bersifat
mencerminkan situasi yang santai atau tidak formal. Pada masyarakat umum busana
pengantin Kesatrian biasanya juga dikenakan pada saat upacara ngundhuh mantu
atau boyongan pengantin (Suwarna, 2001: 14-16).
Busana pengantin kesatrian pada pengantin pria
mengenakan blangkon atau tutup kepala, baju surjan kembangan, kalung panjang
dengan bros di dada, jam saku dengan rantai panjang menyilang di perut, bebed
wiron, dan sandal selop. Sedangkan pada busana pengantin wanita tata riasnya
tidak banyak mengenakan kembang goyang, baju panjang kembang tampak longgar
tetapi rapi, kain nyamping semotif dengan yang dikenakan oleh pengantin pria
serta mengenakan sandal selop.
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
III.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan makna
simbolik dalam busana pengantin adat Yogyakarta. Instrumen utama dalam
penelitian ini adalah peneliti sendiri. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata
dalam bentuk tertulis maupun lisan. Seluruh data kemudian dianalisis secara
induktif sehingga menghasilkan data yang deskriptif.
Untuk memperoleh data dilakukan atau dibutuhkan teknik pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi atau pengamatan, wawancara, dan dokumentasi yang berupa sumber bacaan atau tertulis, serta foto atau gambar dari busana pengantin adat Yogyakarta.
Untuk memperoleh data dilakukan atau dibutuhkan teknik pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi atau pengamatan, wawancara, dan dokumentasi yang berupa sumber bacaan atau tertulis, serta foto atau gambar dari busana pengantin adat Yogyakarta.
III.2 Subjek
dan Objek Penelitian
Subjek dalam
penelitian ini meliputi perias (pemaes) pengantin yang bertempat tinggal di
wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta dan sesepuh atau pengageng Keraton
Yogyakarta. Sesepuh atau pengageng dan perias pengantin dijadikan subjek karena
merekalah yang tahu secara lengkap tentang makna simbolik yang terkandung dalam
busana pengantin adat Yogyakarta tersebut. Sedangkan objek dalam penelitian ini
adalah busana pengantin adat Yogyakarta.
III.3 Setting
Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian akan dilakukan
secara acak dalam beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman Yogyakarta
tersebut dan diambil beberapa perias pengantin sebagai responden yang
diwawancarai tentang topik penelitian. Selain itu, penelitian juga dilakukan di
dalam Keraton Yogyakarta kepada para sesepuh atau pengageng keraton Yogyakarta
sebagai responden lain yang diwawancara tentang topik tersebut.
III.4 Data Penelitian
Data dari
penelitian ini diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Adapun bentuk data dalam penelitian ini adalah:
1. Makna simbolik
peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta
2. Fungsi busana
pengantin adat Yogyakarta.
III.5 Sumber
Data
Sumber data yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah dari observasi dan wawancara secara
tertulis dan non tertulis di tempat penata rias pengantin adat Yogyakarta serta
di Keraton Yogyakarta. Setelah melakukan kegiatan observasi dan wawancara,
kemudian dilanjutkan dengan kegiatan dokumentasi mengenai keterangan-keterangan
tertulis, yaitu berupa buku-buku yang menyangkut tentang busana adat pengantin
gaya Yogyakarta.
III.6 Instrumen
Penelitian
Untuk memperoleh
data yang sesuai dengan permasalahan penelitian, maka dalam hal ini peneliti
berperan aktif dalam teknik pengumpulan data sekaligus sebagai instrumen
penelitian. Hal tersebut disebabkan karena dalam penelitian ini peneliti
bertindak sebagai perencana dan sekaligus sebagai pelaksana dari rancangan
penelitian yang sudah disusun. Diharapkan proses pengambilan data tetap sesuai
dengan perencanaan yang telah dibuat dan mendapatkan hasil seperti tujuan yang
telah ditetapkan. Instrumen lainnya sebagai instrumen pembantu berupa alat
tulis untuk mencatat hal-hal penting yang ditemukan dalam proses pengumpulan
data yaitu observasi, wawancara, tape recorder sebagai alat perekam dalam
wawancara, serta kamera digytal untuk mengambil gambar pada proses penelitian.
III.7 Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh atau
mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Untuk memperoleh data yang
sesuai dengan permasalahan diperlukan teknik pengumpulan data. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
·
Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh dan mengumpulkan data. Proses kegiatan ini lebih ditekankan pada ketelitian dan kejelian peneliti sendiri. Dalam observasi ini, peneliti melakukan pengamatan secara langsung tempat yang akan digunakan untuk penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh dan mengumpulkan data. Proses kegiatan ini lebih ditekankan pada ketelitian dan kejelian peneliti sendiri. Dalam observasi ini, peneliti melakukan pengamatan secara langsung tempat yang akan digunakan untuk penelitian.
·
Wawancara
Tahap kedua dalam mengumpulkan data yaitu melakukan wawancara langsung secara mendalam dengan responden yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong: 2002: 135). Wawancara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan pada langkah pertama. Pada tahap wawancara ini, peneliti mendengarkan dengan seksama orang-orang keraton atau para sesepuh keraton serta perias (pemaes) pengantin yang ada di daerah tersebut dalam menyebutkan makna simbolik yang terkandung dalam busana pengantin adat Yogyakarta.
Tahap kedua dalam mengumpulkan data yaitu melakukan wawancara langsung secara mendalam dengan responden yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong: 2002: 135). Wawancara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan pada langkah pertama. Pada tahap wawancara ini, peneliti mendengarkan dengan seksama orang-orang keraton atau para sesepuh keraton serta perias (pemaes) pengantin yang ada di daerah tersebut dalam menyebutkan makna simbolik yang terkandung dalam busana pengantin adat Yogyakarta.
·
Dokumentasi
Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari wawancara dan observasi. Dokumen-dokumen yang berisi data-data yang dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar tentang busana pengantin adat Yogyakarta.
Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari wawancara dan observasi. Dokumen-dokumen yang berisi data-data yang dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar tentang busana pengantin adat Yogyakarta.
III.8 Teknik
Analisis Data
Penelitian ini
menggunakan analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis ini
mendeskripsikan mengenai makna simbolik dalam busana pengantin adat Yogyakarta.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis induktif.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: inventarisasi atau
pengumpulan data yang diperoleh melalui observasi berpartisipasi dan wawancara
secara mendalam. Langkah yang kedua adalah identifikasi dari sejumlah data yang
ada diambil data yang sesuai dengan topik penelitian. Proses berikutnya ialah
klasifikasi yaitu pengelompokkan data, data dari hasil wawancara yang telah
dilakukan kemudian diperoleh jawaban umum, yaitu diperoleh jawaban responden
yang menguasai dan ada responden yang tidak atau kurang menguasai topik
penelitian. Responden yang bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan topik
penelitian dikelompokkan sendiri, sedangkan responden yang jawabannya kurang
sesuai dengan topik penelitian dikelompokkan sendiri. Langkah selanjutnya ialah
interpretasi, hasil dari wawancara diinterpretasikan tentang makna simbolik
dalam busana pengantin adat Yogyakarta. Selain itu juga dilakukan kajian
tentang fungsi dari busana pengantin gaya Yogyakarta sesuai dengan topik
penelitian. Langkah yang terakhir berupa inferensi atau membuat kesimpulan
hasil akhir dari interpretasi yang sudah dilakukan.
III.9 Triangulasi
Keabsahan data
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi
dilakukan agar hasil penelitian ini valid. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong,
2002: 178).
Agar mendapatkan data yang lebih valid dan ada kecocokan satu sama lain, dilakukan triangulasi dari data wawancara dan data observasi, serta dokumentasi yang berupa rekaman dan foto atau gambar. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber. Pengambilan data dilakukan pada sejumlah sumber data yang berbeda-beda. Data dianggap valid bila jawaban sumber data yang satu sesuai atau sama dengan jawaban sumber yang lainnya.
Agar mendapatkan data yang lebih valid dan ada kecocokan satu sama lain, dilakukan triangulasi dari data wawancara dan data observasi, serta dokumentasi yang berupa rekaman dan foto atau gambar. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber. Pengambilan data dilakukan pada sejumlah sumber data yang berbeda-beda. Data dianggap valid bila jawaban sumber data yang satu sesuai atau sama dengan jawaban sumber yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Artati.
2001. Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Endah, Kuswa.
2006. Busana Jawa. Yogyakarta: UNY Press.
Hamzuri. 1998/1999. Album Busana Tradisional Indonesia. Yogyakarta: DEPDIKBUD.
Hamzuri. 1998/1999. Album Busana Tradisional Indonesia. Yogyakarta: DEPDIKBUD.
Hartanto, Dick.
1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV. Rajawali.
Herusatoto, Budiono. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Herusatoto, Budiono. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Koentjaraningrat.
1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moleong, Lexy J.
2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pringgawidagda, Suwarna. 2001. Mengenal Busana Pengantin Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Pringgawidagda, Suwarna. 2001. Mengenal Busana Pengantin Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
________.2003.
Acara Pengantin Berbagai Gaya. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suryomentaram, Gresah & Tedjowarsito. 1982. Perkawinan Adat Jawa Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: DEPDIKBUD.
Suryomentaram, Gresah & Tedjowarsito. 1982. Perkawinan Adat Jawa Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: DEPDIKBUD.
Tim Penyusun
Kamus. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
1 komentar:
artikelnya bagus. Btw, saya ingin bertanya:pada tahun berapa pernikahan adat Jawa mulai di gunakan oleh masyarakat di luar Keraton?karena pada proposal ini hanya disebutkan menurut sejarah(Agoes, Artati. 2001.). Atau jika ada link lain, mohon di infokan. Atas perhatian dan jawabnnya diucapkan terima kasih.
Posting Komentar